Tuesday, January 08, 2013

Berburu Surga Eidelweiss di Gunung Papandayan

Sudah lama aku berangan-angan untuk kembali menikmati dinginnya udara dan indahnya pesona hamparan Eidelweiss di Gunung Papandayan. Tidak terasa 11 tahun telah berlalu sejak terakhir aku menyambangi gunung itu di akhir Agustus tahun 2001 bersama teman-teman SMP-ku. Keinginan ini memang cukup beralasan, mengingat pada waktu itu kami hanya mendaki sampai ke Pondok Saladah namun tidak sempat sampai ke Tegal Alun yang  konon katanya mempunyai padang Eidelweiss yang lebih luas dan lebih indah. Waktu itu kami terlalu lelah, dikarenakan saat itu kami naik ke papandayan dengan berjalan kaki mulai dari Gerbang Cisurupan.

Kali ini setelah 10 bulan aku bekerja di tempat yang baru, aku menemukan 4 orang teman yang ternyata mempunyai hobby dan passion yang sama untuk naik Gunung. Mereka adalah Hersun, Fuad, Taufiq dan Julia.
Perjalanan ke Papandayan kali ini sebetulnya merupakan rencana cadangan, karena sebelumnya kami merencanakan untuk mendaki gunung Gede Pangrango. Namun dikarenakan proses Perizinannya cukup panjang dan waktu pendakian yang kami tetapkan yaitu tanggal 16-18 November 2012 sudah terlalu dekat, maka kami putuskan untuk merubah rencana pendakian tersebut ke Gunung Papandayan.

Persiapan Menuju Cisurupan


Jumat Pagi pukul 09.00 rencananya kami sudah berkumpul di Kantor namun berhubung Bang Hersun yang tinggal di Depok harus menjemput Kak Juli di Bintaro maka kami berlima baru bisa berkumpul pada pukul 10.00. Setelah memastikan semua barang kami membuat daftar list belanja keperluan selama kemping dan urunan sebesar Rp. 150.000 per orang,  lalu kami bergegas menuju mobil dinas yang kami pinjam. Pukul 10.30 kami sudah meluncur menuju Cisurupan Garut. Kami beristirahat di Rest Area Bekasi Barat pukul 11.30 untuk makan siang dan sholat Jumat.

Perjalanan dilanjutkan pukul 13.00. Selama perjalanan cuaca terlihat kurang bersahabat, hujan gerimis sampai badai petir setia menemani perjalanan kami sampai penghujung kota Bandung. Kami berhenti sejenak pukul 17.00 di sebuah swalayan di Ujung Berung untuk membeli segala keperluan logistik selama pendakian. Syukurlah selama perjalanan dari Ujung Berung ke Cisurupan cuaca sudah mulai membaik. Pukul 19.00 kami sampai di gerbang Cisurupan, hari sudah mulai gelap, saat itu gerimis dengan setia menemani disepanjang perjalanan dari gerbang Cisurupan menuju Camp David Papandayan. Perlu kesabaran dan kehati-hatian ekstra karena jalanan yang dilalui sebagian sudah rusak terkikis aliran air hujan.

Sesaat sebelum pendakian dimulai

Pukul 20.00 kami sampai di parkiran Camp David Papandayan. Kami disambut oleh Kang Cecep salah seorang petugas Jagawana yang bertugas malam itu. Kami sebetulnya tidak disarankan untuk langsung naik pada malam itu dikarenakan hujan yang tak kunjung berhenti, namun kami coba untuk bernegosiasi dengan petugas agar kami bisa naik malam itu juga sekaligus menyediakan seorang Guide untuk mengantar kami ke Pondok Saladah. 

Akhirnya Kang Cecep bersedia menyediakan seorang Guide dengan catatan kami hanya boleh berangkat kalau cuaca sudah membaik.

Alhamdulillah, setelah kami sejenak beristirahat dan sholat Isya, gerimis perlahan mereda. Pukul 21.15 kami memulai pendakian. Tak lupa sebelum pendakian GPS Tracker di Tablet Androidku aku nyalakan agar kami tidak tersesat. Kami ditemani seorang Guide sekaligus Porter yang bernama Asep, dia berbaik hati membawakan salah satu carrier kami di sepanjang perjalanan menuju Pondok Saladah. Dari pertama kali memasuki area kawah, dalam kegelapan malam kami langsung disuguhi track terjal dan berbatu. Tentu saja perjalanan tidak bisa secepat yang kami harapkan, medan berbatu disertai asap belerang sungguh membuat mata perih dan nafas tersengal-sengal. Kami berhenti hampir di setiap 50 meter sekali.


Selepas Area Kawah kami langsung disambut jalan setapak yang licin dan cukup curam, andaikan kurang berhati-hati bisa saja salah satu dari kami jatuh tergelincir. Medan yang kami lalui lebih berat dari yang kurasakan 11 tahun yang lalu, karena jalur jalan berbatu yang biasa dilewati telah terputus oleh longsor karena letusan papandayan tahun 2002 lalu, hingga sekarang kami harus mengambil jalur setapak yang menurun melintasi sebuah sungai belerang dan kembali menanjak dan kembali memasuki jalan berbatu sampai di satu pertigaan yang disebut Gubberhood. Dari Gubberhood, kami belok kiri, kembali memasuki jalur setapak yang licin dan menanjak. Akhirnya kami tiba di Pondok Saladah pukul 00.30.


Setibanya di Pondok Saladah, kami langsung mencari tempat untuk mendirikan Tenda. Rupanya saat itu cukup banyak pendaki yang bermalam disana. Setelah tenda berdiri, kami memasak makanan Malam berupa Mie Instan untuk mengganti energi kami yang hilang selama pendakian dari Camp David. Setalah makan malam kami langsung beristirahat memulihkan tenaga untuk pejalanan selanjutnya esok hari.


Pagi hari di Pondok Saladah adalah moment yang tidak bisa ku sia-siakan, pukul 5.00 aku langsung bergegas menuju pinggiran tebing pondok saladah untuk mengabadikan momen sunrise. Saat itu aku sempat bertemu Kang Asep yang berpamitan untuk turun kembali ke Camp David. Tak lama berselang Bang Hersun dan Kak Juli datang menyusul. View sunrise dari titik ini sangat memanjakan mata, dari sini kita bisa melihat semburat fajar dan sang surya dari balik puncak Cikuray yang berbentuk kerucut.


Pukul 06.00 kami kembali ke tenda untuk sarapan dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun. Pagi itu banyak sekali para pendaki lain yang berdatangan, ada juga yang langsung melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun.
Kami melanjutkan perjalanan ke Tegal Alun pukul 09.30, medan yang dilalui sangat curam, kami melewati track berbatu dengan kemiringan hampir 70 derajat, kami merayap mendaki satu persat batu-batu besar dihadapan kami. Sehabis track terjal itu, kami tiba di satu padang Eidelweiss yang kami kira Tegal Alun. Disinilah masalah mulai terjadi, GPS tracker yang selama ini menemani tiba-tiba kehilangan sinyal.


Saat itu kami bermaksud mencari arah ke puncak papandayan. Untunglah kami bertemu beberapa rombongan lain yang sama-sama bertujuan ke Tegal Alun. Kejutan demi kejutan mulai terjadi disini. Kami kehilangan arah di rimbunnya pepohonan hutan. Arah jejak GPS sudah tidak bisa dijadikan pedoman arah bagi kami, ditambah citra peta tofografi yang selama ini kami andalkan entah mengapa tiba-tiba menghilang dari layar tablet androidku. Hampir satu jam kami berputar-putar di area yang sama, kami seperti berjalan di sebuah labirin yang tak berujung.



Namun nasib baik rupanya masih berpihak kepada kami, tiba-tiba muncul 5 orang pendaki yang muncul dari arah berlawanan, dari merekalah kami menyadari bahwa padang eidelweiss yang baru saja kami capai bukankah Tegal Alun, karena Tegal Alun masih berada kira-kira 400 meter di depan dari tempat kami berada. Tepat pukul 12.00 kami berhasil keluar dari labirin hutan itu. Kami tiba di Tegal Alun.

Tegal alun sungguh membuat kami terpesona. Hamparan Eielweiss nampak sejauh mata memandang. Rasa kagum, bahagia, puas, campur jadi satu. Switzerland van Java yang selama ini hanya kulihat dan kubaca di internet kini nampak nyata di pelupuk mataku. Rasanya tak percaya aku berhasil mencapai tujuan yang selama 11 tahun ini hanya menjadi angan-anganku. Kami melepas lelah di tengah-tengah padang eidelweiss beserta 1 tim lain yang datang bersamaan dengan kami dari Bekasi. Kami sempat tertidur dan berfoto bersama.
Sayangnya gelegar bunyi petir seolah membuyarkan semua kesenangan dan rencana kami. Entahlah, tiba-tiba saja angin bertiup kencang, dan awan hitam mulai menggelayut di atas kepala kami. Seketika itu pula niat kami untuk terus naik menuju puncak papandayan berubah menjadi keinginan untuk dapat langsung turun secepatnya. Kami bergegas menuju beberapa tenda yang didirikan di pinggiran Tegal Alun, kami mencoba mencari informasi rute turun alternatif yang menghindari jalur batu terjal yang tadi kami lewati. Kami mendapat info dari salah satu tim yang sedang nge-camp disana untuk mengambil jalur ke Hutan Mati untuk langsung turun ke Camp David.

Pukul 13.00 kami bergegas turun mengikuti arahan informasi yang diberikan, awalnya perjalanan turun sangat lancar. Kami memasuki hutan lebat melewati jalan setapak yang menurun. Benar saja sejauh ini perjalanan turun tidak seseram jalur batu yang tadi pagi kami lalui. Kami sempat beristirahat dan memasak makan siang di tengah hutan sambil melepas lelah. Setelah makan siang, kami melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak tersebut. Perlahan pepohonan yang tadinya rimbun menghijau berubah menjadi padang pasir putih dan batang pohon yang gosong menghitam. Inilah rupanya yang disebut Hutan Mati. Bagian hutan yang 11 tahun lalu terkena semburan hawa panas letusan Papandayan.


Beberapa saat kemudian kami baru tersadar kalau kami kembali kehilangan arah. Jalur yang kami lalui tiba-tiba menghilang dari pandangan, yang ada hanyalah pasir putih dan batang pohon yang menghitam. Kami terus bergerak dengan mengandalkan tanda-tanda yang ditinggalkan pendaki sebelumnya berupa tali rafia, botol, kertas dan batuan di batang pohon yang kami lihat di depan kami. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kejutan lagi yang benar-benar membuat kami begitu panik. Hujan gerimis disertai kabut putih tiba-tiba turun, menutupi area pandang kami. Kini semua pandangan benar-benar putih.
Pukul 15.30 kami akhirnya memutuskan untuk berbalik arah mencari rute lain ke arah pondok saladah. Saat itu kami benar-benar pasrah kepada Allah yang bisa menyelamatkan hidup kami. Kami sempat menyusuri sungai kecil, namun rupanya jalurnya berakhir buntu hingga memaksa kami untuk kembali ke titik awal kami tersesat. Sampai akhirnya kami menemukan satu jalur yang cukup besar yang Bang Hersun yakini sebagai arah kembali ke Pondok Saladah. Ternyata prediksi Bang Hersun benar, tidak sampai 20 menit kami telah melihat titik-titik tenda yang berdiri di pondok Saladah.


Kami tiba di Pondok Saladah pukul 17.20. Aku langsung sujud syukur karena telah diselamatkan sampai titik ini. Kami memutuskan untuk langsung turun ke Camp David. Rupanya keputusan kami kali-ini benar-benar keliru, sebab baru saja kami melewati pertigaan Gubberhood, hujan rintik-rintik kembali menghampiri kami, namun kami terus melangkah walau kami tahu area jalur putus yang akan kami lewati pasti menjadi semakin licin dan berbahaya.
Sesaat setelah kami melintasi sungai belerang cuaca menjadi memburuk. Hujan deras menerpa kami disertai petir dan angin kencang. Kami terus bergerak namun akhirnya menjelang area kawah kami terpaksa harus kembali dan mendirikan tenda di area Jalur Putus. Cuaca benar-benar tidak bersahabat ditambah hari sudah gelap. Tubuh dan semua barang bawaan kami basah kuyup. Begitu tenda berdiri kami semua masuk berdesakan, menghabiskan malam itu dengan baju basah dan tubuh yang mengigil kedinginan, untungnya Bang Hersun sigap memasak air hangat dan menyeduh kopi susu untuk menghangatkan badan kami. Ini benar-benar malam terpanjang yang harus kulalui. Baru menjelang tengah malam suhu mulai menghangat, bahkan aku sampai bisa membuka jaketku dan kuberikan kepada Kak Juli yang masih mengigil kedinginan. Beberapa saat kemudian aku terlelap dan terbangun kala kulihat hari sudah mulai terang.


Waktu sudah menunjukan pukul 05.30, perlahan aku bangkit dan keluar dari tenda, antara-percaya dan tidak, aku masih hidup, keempat temanku masih terlelap kelelahan. Hal pertama yang kulakukan adalah memasak air hangat dan menyeduh sereal untuk sarapan. Tak lama satu persatu temanku keluar dari tenda dan menata-kembali barang bawaan kami yang berantakan karena insiden semalam.


Setelah sarapan pagi, kami langsung berkemas untuk melanjutkan perjalanan turun menuju Camp David, pukul 07.30 kami mulai bergerak melintasi area kawah papandayan. Kali ini kami baru menyadari betapa indahnya area kawah yang semalam kami lewati. Entahlah apa yang akan terjadi bila malam itu kami tidak dipandu oleh Kang Asep. Kami sejenak berfoto ria di Kawah papandayan yang pagi itu sudah mulai ramai didatangi oleh para pendaki, wisatawan bahkan sampai serombongan penggemar sepeda gunung yang katanya akan melintas ke daerah Pangalengan.


Barulah pukul 8.30 kami tiba di Camp David, senang rasanya kami berlima bisa selamat kembali ke  Camp David tanpa kurang satu apa pun. Namun bagiku pahit dan manisnya perjalanan ini tak akan terlupakan,  11 tahun penantianku terbayar sudah. Rasanya umurku kini jadi 10 tahun lebih muda karena berhasil menjejakan kaki di tempat yang selama ini aku dambakan. Walaupun masih ada satu hal yang mengganjal, bahwa kami tidak berhasil mencapai puncak Papandayan sebenarnya di ketinggian 6220 mdpl. Tapi aku yakin suatu saat aku akan sampai ke titik itu dengan mereka atau rekan pendakian yang lain di masa mendatang.

GPS Track Gunung Papandayan

Sebagai oleh-oleh perjalanan ini aku sertakan capture rute perjalanan di Gunung Papandayan yang aku olah dari log GPS tablet androidku, semoga bermanfaat bagi siapa pun yang ingin mengunjungi gunung cantik yang penuh pesona ini.




2 comments:

Info Bungo said...

Petualangan yang mengagumkan

Roy said...

keren, mbak :D

keep the spirit!