Ini adalah narasi kiriman seorang sahabat penyintas relasi Narsistik atas sebuah fase terendah yang terjadi pada biduk rumahtangganya.
======================
Aku tidak pernah menyangka jika perjalanan rumah tanggaku akan membawa diriku pada titik refleksi yang begitu dalam. Awalnya semua tampak biasa; dua tahun sudah kami membangun kehidupan, berbagi tawa, dan mencoba melangkah bersama. Namun, akhir tahun 2024 menjadi titik balik besar dalam kesadaranku.
Titik Kesadaran
Aku buka kisah ini sejak istriku meminta izin pergi ke kota lain dengan alasan membantu usaha orang tuanya. Ada sesuatu yang mengusik batinku; pola sikap istriku yang semakin sering berubah-ubah, seolah ada ritme tersembunyi di balik setiap interaksi kami. Aku mulai melihat kejanggalan. Rasa curiga itu tak kuletakkan begitu saja; aku kumpulkan bukti, aku catat waktu, aku susun sebuah timeline dari foto, aktivitas, dan jejak digital yang tersisa. Semua kulakukan dengan tenang, sebab aku tahu ledakan emosi hanya akan membuatku buta.
Sebuah Pengakuan
Namun sebelum aku melangkah jauh, aku memutuskan untuk menguji kejujuran istriku terlebih dahulu. Aku tidak langsung menuding. Aku awali dengan membuat beberapa postingan yang bernuansa sindiran tentang ketidaksetiaan; cukup halus, namun tajam untuk mengusik nuraninya. Dan benar saja, istriku mulai gelisah, dari sekadar defensif di percakapan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk segera pulang, seolah ingin mengendalikan keadaan.
Saat ia sudah kembali di hadapanku, aku memilih bicara baik-baik. Aku katakan, “Aku hanya ingin tahu sejauh mana kejujuranmu. Aku tak ingin langsung menuding, meski aku punya data yang bisa kubuka.”
Saat itulah titik terang mulai muncul. Dengan wajah yang awalnya penuh pertahanan, istriku akhirnya mengakui: ia memang punya hubungan dengan pria lain sebut saja namanya si Baduy. Ia juga akhirnya mengaku pernah pergi diam-diam, bahkan sampai menginap di sebuah kota, dengan dalih membawa serta anaknya untuk berlibur.
Pengakuan itu seperti sebuah topeng yang jatuh ke lantai; retak dan tak lagi mampu menutupi wajah aslinya.
Dari titik itulah aku semakin yakin bahwa data yang tersusun di timeline yang aku buat bukanlah sekadar imajinasi atau kecurigaan berlebihan. Semua sudah terang benderang, bahkan sebelum aku benar-benar berhadapan langsung dengan pria itu.
Konfrontasi Si Baduy
Maka, segera aku pun menulis sebuah pesan peringatan untuk Si Baduy lewat pesan WA disertai ajakan untuk bertemu untuk meminta penjelasannya. Pesan itu bukan sekadar rangkaian kata, tetapi refleksi dari luka dan batas yang kutetapkan sebagai seorang suami dan ayah.
Tak berselang lama, ia pun menanggapi pesan WA tersebut. Negosiasi tempat & waktu bertemu berjalan alot dan terkesan ingin mengulur waktu. Ada penyangkalan, ada pembelaan, namun aku tetap menjaga kendali. Aku ingin ia paham; ini bukan sekadar tentang dirinya atau istriku, tetapi tentang sebuah keluarga yang hampir direnggut olehnya.
Akhirnya, titik temu pun tercapai. Ia datang ke rumah, dia akui kekeliruannya dan, ia berjanji untuk tidak lagi mengganggu rumah tanggaku. Janji itu mungkin tak bisa menjamin sepenuhnya, tapi setidaknya menjadi garis penutup bagi bab yang penuh luka ini.
Hikmah Dibalik Luka
Sejak itu pengamatanku tak pernah surut, aku melihat pola itu berulang kembali; love bombing, devaluasi, lalu diam membisu; siklus narsistik yang kian jelas di mataku. Bedanya, kini aku sudah lebih siap. Aku tidak lagi terbawa arus dramanya, tidak lagi mencoba menjelaskan atau membela diri. Aku belajar bahwa dalam menghadapi narsistik, ada satu kunci penting: menjaga energi diri agar tidak habis tersedot sia-sia.
Kini, aku masih berada dalam perjalanan ini. Ada hari-hari penuh rindu, ada hari-hari penuh luka, namun ada juga hari-hari penuh kesadaran yang membuatku semakin kuat. Aku mulai belajar mencintai tanpa harus melekat, memiliki tanpa harus menggenggam terlalu erat.
Penutup
Jika engkau membaca kisah ini, aku berharap satu hal:
belajarlah dari pengalamanku tanpa harus mengalaminya sendiri.
Kenalilah tanda-tanda narsistik sejak awal; mulai dari manipulasi halus, siklus cinta-pujaan lalu merendahkan, hingga silent treatment yang melelahkan jiwa. Sadarilah bahwa bukan tugas kita untuk menyembuhkan mereka, tetapi untuk menjaga diri kita sendiri agar tidak hilang di dalamnya.
Semoga refleksi ini menjadi cermin, bahwa cinta sejati tidak akan pernah meminta kita kehilangan jati diri. Dan jika suatu saat kau menemukan dirimu dalam lingkar yang sama, ingatlah bahwa selalu ada dua pilihan bagimu yakni untuk bertahan dengan sadar, atau pergi dengan tenang, tanpa ada lagi rasa penasaran dan penyesalan.