Ada satu fase dalam hidup yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya: fase ketika saya bertemu seseorang yang mengubah seluruh cara saya memandang cinta, diri sendiri, dan bahkan Tuhan. Pertemuan itu tidak selalu indah. Bahkan, lebih sering mengguncang daripada menenangkan. Namun dari setiap retakannya, saya belajar sesuatu yang tak pernah saya pelajari dari bab lain dalam kehidupan.
Saya menulis buku ini bukan sebagai ahli psikologi—melainkan sebagai seseorang yang belajar mencintai sambil terluka, bertahan sambil gentar, dan bangkit sambil merangkai kembali potongan-potongan dirinya sendiri. Saya menulis sebagai seorang penyintas, sekaligus seorang manusia yang sedang belajar memahami takdir Tuhan dengan cara yang lebih matang.
Ada masa ketika saya bertanya pada diri sendiri:
“Kenapa aku dipertemukan dengan orang seperti ini?”
Pertanyaan itu bergema begitu lama—hingga saya menyadari bahwa mungkin jawaban itu tidak datang untuk membuat saya memahami pasangan saya… tetapi untuk membuat saya memahami diri saya sendiri.
Setiap hubungan dengan pasangan NPD adalah seperti berjalan melewati lorong panjang yang penuh cermin. Di sana, kita melihat versi diri kita yang paling rapuh: yang takut ditinggalkan, yang haus validasi, yang mudah luluh oleh pujian, yang merasa harus menyelamatkan semua orang kecuali dirinya sendiri. Dan justru di sana pula saya menemukan, perlahan-lahan, bahwa Tuhan tidak menempatkan saya dalam hubungan ini untuk membuat saya hancur, melainkan untuk menyadarkan saya bahwa saya masih punya ruang untuk tumbuh.
Saya pernah berdiri di titik paling rendah—ketika cinta terasa seperti medan perang yang sunyi, ketika dukungan berubah menjadi tuntutan, dan ketika kesabaran terasa seperti beban yang hanya saya tanggung seorang diri. Namun di tengah semua itu, saya juga menemukan momen-momen lembut: saat hati mulai mengerti, saat logika dan rasa berdamai, saat saya berhenti bertanya “mengapa ini terjadi padaku” dan mulai bertanya “apa yang ingin Tuhan ajarkan melalui ini”.
Buku ini adalah rangkuman perjalanan itu—perjalanan menemukan damai di tengah badai emosi, menemukan batas sehat di tengah tarik-ulur yang menyiksa, dan yang paling penting: menemukan diri sendiri kembali.
Jika Anda sedang berada di hubungan yang melelahkan dengan pasangan narsistik, saya ingin Anda tahu satu hal:
Anda tidak sendirian.
Apa yang Anda rasakan valid. Apa yang Anda perjuangkan berat. Namun apa yang sedang Anda pelajari… sangat berharga.
Semoga setiap halaman dalam buku ini membuat Anda merasa lebih dipahami, lebih kuat, dan lebih dekat dengan diri Anda yang sesungguhnya. Dan semoga Anda menemukan hikmah sebagaimana saya menemukannya: bahwa Tuhan sering kali membungkus pelajaran besar dalam hubungan yang sulit, bukan untuk menghukum… tetapi untuk mematangkan jiwa.
Selamat membaca.
Semoga perjalanan ini membawa kita pulang ke diri sendiri.
Fitra Lugina, SS.
No comments:
Post a Comment